Sabtu, 17 Oktober 2009

Pupuk dan Pestisida Alami

Mengapa Pupuk Alami Diperlukan ?


Penerapan pola pertanian moderen ataupun intensif yang berorientasi pada hasil yang tinggi telah merubah budaya dan pola pikir dari masyarakat tani, dari petani tradisional yang sebelumya mandiri menjadi petani yang berketergantungan. Hal ini disebabkan oleh sistem pertanian yang intensif yang menjadikan petani harus berketergantungan kepada si pemberi sarana produksi tersebut seperti pupuk dan pestisida kimia.


Akibat yang terjadi pada lingkungan dari masalah ini yaitu: penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus dan berpengaruh terhadap kondisi tanah pertanian masyarakat, karena bahan kimia yang meresap dalam tanah tersebut dapat berfungsi untuk mematikan zat-zat renik yang berguna untuk menyuburkan tanaman. Sama-sama kita ketahui tanah hanya akan dapat subur apabila terdapat bahan-bahan organik yang cukup seperti sisa-sisa hijauan dan kotoran ternak, demikian juga penggunaan pestisida kimia yang sebenarnya merupakan racun yang dapat merusak keaneka ragaman hayati, sebab hanya sedikit pestisida yang digunakan dapat mengenai sasarannya dengan baik, hal ini terjadi karena serangga-serangga yang sebetulnya menguntungkan petani dan tanaman akhirnya mati juga dikarenakan oleh penggunaan racun-racun kimia tersebut.


Selain itu bahan–bahan kimia baik dari pupuk maupun pestisida akan mempengaruhi kesehatan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, contoh secara lagsung yaitu pestisida kimia akan mengganggu kesehatan karena terhirup oleh yang meyemprotkannya sedangkan secara tidak langsung manusia mengkonsumsi hasil pertanian yang sudah mengandung bahan kimia.


Untuk mengantisipasi hal tersebut sudah saatnya kita beralih dan mulai menoleh kembali terhadap penggunaan pupuk dan pestisida alami yang sebetulnya pada saat lalu sudah di lakukan, dimana penggunaan benih lokal dan pupuk alami sebenarya merupakan pintu masuk dan sebagai alat bagi petani untuk melawan ketergantungan petani dalam rangka melepaskan diri mereka dari ketergantungan bahan kimia selama ini.


Apa Tujuan dan Keuntungan Pertanian yang Ramah Lingkungan ?


  1. Meningkatkan produktifitas melalui daya kreatifitas dan kemampuan berpikir dan keterampilan kerja petani untuk menuju efisiensi dan efektifitas kerja yang berdampak pada hasil kerja dan kesejahteraan petani.
  2. Meningkatkan martabat petani melalui penyadaran terhadap hak-hak petani kearah penghargaan umum berdasarkan hasil kerja yang berdampak pada posisi sosialnya.
  3. Meningkatkan pemahaman da apresiasi masyarakat umum terhadap pertanian organik sebagai pertanian yang memberikan kesempatan kepada petani untuk megambil keputusan yang benar dan adil, sehingg terjalin hubungan yang harmonis, damai dan adil.
  4. Menurunkan tingkat ketergantungn petani terhadap pihak lain yang mempunyi kecenderungan mengambil keuntungn dari petani, dengan meningkatkan pengetahuan lokal dalam hal penyedian sarana produksi pertanian seperti pupuk, benih dan pestisida.(IMAN).

Selasa, 06 Oktober 2009

Pengembangan Sistem Agroforestri Aceh Barat, langkah awal pelestarian Hutan Aceh ke depan.

Pembabatan hutan di Aceh terjadi sangat fantastis selama periode tahun 2002-2004 yaitu mencapai 350.000 ha atau setara lebih dari lima kali lipat luas daratan Negara Singapura. Dari jumlah yang mengkhawatirkan itu, hampir 60% praktek deforestasi ini terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk di dalamnya kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

Deforestasi ini juga terjadi di luar kawasan hutan produksi namun melalui praktek konversi hutan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan, misalnya pembukaan areal perkebunan dan kegiatan budidaya lainnya yang merncapai luas lebih dari 156.000 ha selama ini.. Deforestasi di luar kawasan hutan ini menyumbang sedikitnya 45% dari total pembabatan hutan yang terjadi di Nanggroe Aceh Darusslam (NAD). Deforestasi inilah yang menyebabkan terjadinya juga Degradasi hutan Aceh semakin parah yaitu hingga mencapai angka 1,87 juta ha pada tahun 2002-2005,diantaranya tersebar di 75% kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung. Nah jika di diamkan tentu kondisi ini jelas sangat mengancam keberlanjutan proses rekonstruksi Aceh pasca tsunami.

Lebih dari 81% deforestasi ini terkonsentrasi pada 11 kabupaten di sepanjang pantai Barat-Selatan dan wilayah Aceh Bagian Tengah. Sedangkan lebih dari 83% degradasi hutan juga tersebar pada kawasan hutan di 11 kabupaten itu. Tujuh kabupaten di sepanjang pantai barat-selatan menyumbang deforestasi seluas 45,37%, sedangkan empat kabupaten di Aceh Bagian Tengah menyumbang 36,25%. Sisanya tersebar di sepanjang pantai utara, timur, dan pulau-pulau di wilayah administratif provinsi NAD.

Pada kawasan hutan produksi, sampai Desember 2003 terdapat delapan perusahaan HPH yang masih aktif dengan total pengusahaan hutan sebanyak 524.644 ha dan dua perusahaan HPH-TI yang menguasai 13.200 ha.

Pada tahun 2005, pemerintah telah mengaktifkan kembali izin lima HPH di Aceh untuk mengelola hutan seluas 367.550 ha dan ini mengundang banyak perdebatan di kalangan masyarakat. Kapasitas jatah produksi pemegang HPH menurut SK Menteri Kehutanan No. 357/ Menhut-VI/2005 sebesar 500.000 m³ per tahun, dinilai terlalu besar dibandingkan dengan kebutuhan lokal sebanyak 215.249 m³ kayu per tahun untuk merekonstruksi dan merehabilitasi Aceh pasca tsunami.

Dengan fakta ini sangat dibutuhkan sebuah sistem alternative untuk meningkatkan sistem perekonomian masyarakat melalui sistem pemberdayaan hutan produksi. Sistem Agroferstry ini adalah salah satu bentuk alternative dari sekian banyak alternative yang ada,dimana ini mungkin akan bisa menjawab tantangan yang ada sekarang ini tentang pelestarian hutan Aceh.

Pengembangan sistem Agroforestry sebagai alternative pendapatan ekonomi masyarakat lokal akan bisa memberikan dampak ekonomi dan bisa berdampak ke arah perubahan persepsi dan pandangan terhadap potensi kawasan hutan unntuk dieksploitasi. Akan tetapi penerapan sistem baru seperti agroforestry ini bukanlah usaha yang mudah, akan tetapi penuh dengan kajian dan pertimbangan yang mendalam. Faktor skil dan kemampuan untuk menerapkan sistem baru ini adalah faktor pasar yang harus mendukung, faktor minat dan budaya lokal terhadap komiditi yang dikembangkan juga menjadi faktor keberhasilan dari alternative usaha yang akan dicoba dan diterapkan nantinya.

Terminology

Terminology sistim agroforestry sudah menjadi sebuah istilah yang tidak asing bagi masyarakat kehutanan, namun disekitar wilayah Aceh Barat hal ini masih cukup asing, walaupun defenisi yang dipahami masyarakat tidak bersifat kontekstual adanya. Karena tipe masyarakatnya adalah masyarakat desa yang belum mengenal teknologi dan informasi disektor kehutanan, pengelolaan kebun dan juga istilah bibit unggul, istilah okulasi atau sistem pengadaan bibit secara vegetative dan lainnya.

Use of Trees in Space and Time

Komoditas karet (Hevea brasiliensis), Kelapa Sawit dan Cacao adalah tiga komoditas primadona di daerah kehutanan Aceh Barat, sehingga selama ini penggunaan lahan perkebunan hanya terfokus dengan system monokultur untuk tiga komoditas tersebut saja. Keadaan ini juga sama pada areal hutan yang dirubah fungsinya untuk lahan perkebunan, pelaksaan penerapan system agroforestry pada lahan penyangga maupun areal Gambut di wilayah Aceh Barat telah mulai dilaksanakan agar dapat mendukung penambahan pendapatan bagi masyarakat di kawasan hutan sehingga nantinya tidak lagi mereka dilihat sebagai potensi lahan yang bisa digarap saja, akan tetapi sebuah kawasan perlindungan yang harus dilestarikan untuk mendukung system kehidupan sekitarnya.

Tree Management and Domestication

Banyak diantara petani yang hanya melakukan peremajaan pada kebun karet dan coklat(Cacao sp) tuanya bila produktivitasnya sudah sangat rendah. Tidak ada system tumpang sari atau polykultur dikebun karet mereka ataoupun di Cacao. Hal ini disebabkan mereka takut kalau produktivitas kebun yang dihasilkan nantinya akan rendah, padahal dengan sistem penamana jenis karet, sawit dan Cacao yang dilakukan dengan sistem jalur yang rapi akan mungkin dapat dijadikan sebuah system campuran di dalam satu kebun petani. Sebagai contoh Tanaman karet dengan tanaman kayu yang lain seperti Pohon jelutung yang getahnya dapat dimanfaatkan untuk industri permen karet, tanaman Lidah Buaya dengan tanaman rimpang dan lain-lain.

Local Ecological Knowladge and IPR (Intelectual Property Right)

Seiring perkembangan zaman, kearifan lokal yang ada kini telah hilang dimana Pola-pola pertanian atau perkebunan sudah mengikuti pola perkembangan teknologi pertanian atau perkebunan yang intensive. Pemahaman ilmiah tentang manfaat ekologi dan ekonomi dalam Agroforestri berbasis karet masih sangat kurang. Hal ini menyebabkan adanya pemahaman bahwa sistem kebun campuran tidak menguntungkan secara ekonomi, pada hal system monokultur yang selama ini dilakukan juga sangat bergantung kepada harga komoditas yang ada, sehingga bila harga komoditas turun para petani tidak bisa mengatur penghasilan kebunnya, padahal di sisi lain kalau mau saja para petani melakukan pola perkebunan campuran maka mereka masih punya peluang penghasilan ganda dari kebunnya.

Componen Interaction

Komponen Ekonomi : Pola pengumpulan hasil kebun ada yang di panen dan dikumpulkan sendiri disamping juga ada yang memperkerjakan orang lain. Hasil kebun dikumpulkan di satu tempat dan penjualan di lakukan sebanyak dua kali dalam satu bulan yang dibeli oleh agen atau tengkulak.

Komponen Ekologi : Banyak Area kebun petani juga merupakan wilayah jelajah satwa liar dan dilindungi seperti Gajah Sumatera, Harimau Sumatera dan Orang Hutan Sumatera. Sehingga sering juga terjadi konflik antara manusia dan satwa itu. Pengembangan system Agroforestry sedapat mungkin harus juga bisa berperan dalam hal mengakomodasi aspek konflik manusia dengan jenis tanaman yang bisa menghalau jenis satwa tertentu dari areal perladangan ataupun perkebunan. Praktek seperti ini bisa dalam bentuk jalur hijau yang berfungsi sebagai penyangga fisik area budidaya dari gangguan, pengaruh jenis eksotik tumbuhan dan sebagai perluasan homerange satwa hutan.

Aspek Sosial : Sistem hubungan sosial dalam pola pertanian dan perkebun dapat diterapkan melalui pola system “paruh” yaitu seorang yang diberikan mengelola lahan kebun oleh masyarakat pemilik lahan, pada setiap penjualan hasil kebun akan dibagi dua bagian antara pemilik dan pengelola kebun. Hubungan yang terjalin antara sang pemilik lahan sekaligus pemodal dengan pihak pengelola kebun adalah hubungan saling percaya dan ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.

Input/Output Relation and Profitability Assessment

Pengelolaan kebun masyarakat sangat membutuhkan pupuk dan pengawasan serta perawatan yang intensif, sehingga membutuhkan modal yang tidak sedikit, akan tetapi dari aspek pasar masyarakat petani tidak mengalami kesulitan karena tersedia pasar lokal dimana penjualan hasil kebun seperti karet, Sawit dan Cacao dapat dijual dua kali dalam sebulan. Bila komoditas ini dicampur dengan komoditas lain tentu masih berpeluang untuk menjangkau pasar. Untuk memenuhi kebutuhan kayu lokal masyarakat masih dimungkinkan untuk membuat tanaman pagar atau bertumpang sari dengan tanaman kayu. Seperti contohnya di daerah penyangga Taman Nasional Gunung Halimun masyarakat menanam pohon Sengon dan Mahoni, dalam 1 keluarga ada yang memiliki 700 batang pohon Sengon (Bismark, 2004). Agroforestry juga di Sumatera Barat telah juga dilakukan dengan membudidayakan 40 jenis pohon yang bernilai ekonomis dalam satu lokasi kebun masyarakat dan Desa. (Michon dan Deforestra, 1995).

Tree and Land Tenure and Policy Issues

Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari dapat menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Konflik tata batas kawasan adalah salah satu persoalan yang hingga saat ini masih belum terselesaikan secara tuntas. Dibeberapa titik perebutan hak pengelolaan dn kepemilikan atas lahan antara masyarakat dan pemerinah daam hal ini. Perambahan kawasan untuk dialih fungsikan menjadi areal kebun juga masih terjadi

SWOT of the Agroforestry Technology yang bisa diterapkan di kawasan Aceh Barat.

A. Kebut Karet Campuran (Tumpang Sari)

Strenght : Menjamin penambahan pendapatan dan peningkatan jenis produk kebun, Weakness : Hasil sadapan getah karet bisa menurun produktivitasnya,Opportunity : Jika harga karet menurun, maka jenis produk dari jenis lain di kebun campuran bisa menjadi pendukung penghasilan, Threat : Persepsi masyarakat tentang sistem Agroforestry belum dapat diterima secara luas, ada hama (babi hutan), diperlukan pasar untuk hasil penerapan system Agroforestri.

B. Budidaya Lebah Madu Karet

Strenght : Harga tinggi, potensi bunga karet besar dengan luasan kebun karet masyarakat yang sangat luas, Weakness : Pengetahuan & skills petani sangat rendah, Opportunity : Memilki nilai asar tinggi, tidak merusak pohon dan produktivitas tanaman induk, sarang lebah bisa dikelola dengan system gembala, yaitu bisa mengumpulkan jenis madu dari jenis bungan pohon yang lain bila musim bunga karet sedang tidak maksimal, Threat : Teknologi ini belum pernah diterapkan pada masyarakat, diperlukannya jaringan pasar yang kuat dan Pelatihan.

C. Kebun Cadangan Kayu ( Kebun Karet)

Strenght : Mendukung kebutuhan kayu lokal ,Weakness : Diperlukan waktu yang lama, Opportunity : Nilai kayu yang tinggi, tidak menggangu tanaman induk (karet), bibit mudah didapat, Threat : Mengurangi ruang tanam tanaman kebun yang dijadikan sumber pendapatan rutin.

Dalam menetapkan dan mengelola daerah penyangga kawasan konservasi harus didasarkan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat, sehingga daerah penyangga memiliki nilai ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi. Oleh karena itu pembangunan kawasan konservasi, daerah penyangga, dan ekonomi masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang dapat menguntungkan.

Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah penyangga kawasan konservasi. Dengan demikian, pembangunan daerah penyangga merupakan pembangunan terpadu yang mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik permasalahan dan kebutuhan obyektif dari masing-masing wilayah yang dibangun.

Sejalan dengan itu maka Pelaksaan pembangunan daerah Agroforestri di Aceh Barat haruslah menjadi perencanaan terpadu dan terkait erat dengan rencana pembangunan wilayah atau daerah lainnya sehingga setiap usaha pembangunan itu harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pengembangan system Agroforestri pada masyarakat yang tertinggal di sekitar hutan Rawa Gambut Aceh Barat jika dilaksanakan tentu nantinya diharapkan bermanfaat, selain untuk mencegah perluasan area hutan terdegradasi juga sebagai upaya untuk melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur dimana sebelumnya sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di seluruh Indonesia selama berabad-abad yang lampau.(iman)